1. MEMAHAMI AYAT DENGAN AYAT
Menafsirkan satu ayat
Alquran dengan ayat Alquran yang lain, adalah jenis penafsiran yang paling
tinggi. Karena ada sebagian ayat Alquran itu menerangkan makna ayat-ayat yang
lain. Contohnya ayat, yang artinya : “
Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah merasa cemas dan
tidak pula merasa bersedih hati.” [QS.Yunus : 62].
Lafadz Auliya’ (wali-wali), ditafsirkan
dengan ayat berikutnya yang artinya : “
Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” [QS.Yunus : 63].
Berdasarkan ayat di
atas maka setiap orang yang benar-benar mentaati perintah-perintah Allah dan
meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka mereka itu adalah Wali Allah. Tafsiran
ini sekaligus sebagai bantahan orang-orang yang mempunyai anggapan, bahwa Wali
itu ialah orang yang mengetahui perkara-perkara
ghaib, memiliki kesaktian, di atas kuburnya terdapat bangunan kubah yang megah,
atau keyakinan-keyakinan yang bathil yang lain. Dalam hal ini, Karomah bukan
sebagai syarat untuk membuktikan orang itu wali atau bukan. Karena Karomah itu
bisa saja tampak bisa juga tidak.
Adapun hal –hal yang
aneh yang ada pada diri sebagian orang-orang sufi dan orang-orang Ahli Bid’ah,
adalah sihir, seperti yang sering terjadi pula pada orang-orang Majusi di India
dan lain sebagainya. Itu sama sekali bukan Karomah, tetapi sihir seperti yang
di firmankan Allah, artinya : “Terbayang
kepada Musa, seolah-olah ia merayap cepat lantaran sihir mereka.” [QS. Thaha
:66].
2.
MEMAHAMI
ALQURAN DENGAN HADITS YANG SHAHIH
Menafsirkan ayat
Alquran dengan hadits shahih sangatlah penting, bahkan harus. Allah menurunkan
Alquran kepada Rasulullah tidak lain supaya diterangkan maksudnya kepada semua
manusia. Firman Allah, yang artinya : “…
Dan Kami turunkan Alquran kepadamu (Muhammad) supaya kamu terangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka pikirkan.” [QS.
An-Nahl : 44].
Rasulullah bersabda
yang artinya : “
Ketahuilah, aku sungguh telah diberi Alquran dan yang seperti Alquran
bersama-sama.” [HR. Abu Daud].
Berikut beberapa contoh Tafsirul ayat bil hadits :
a.
Ayat yang
artinya : “
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik ( Syurga) dan
tambahannya.” [QS.Yunus : 26].
Tambahan di sini
menurut keterangan Rasulullah, ialah berupa kenikmatan melihat Allah. Beliau
bersabda yang artinya : “
Lantas tirai itu terbuka sehingga mereka dapat melihat Tuhannya, itu lebih
mereka sukai dari pada apa-apa yang di berikan kepada mereka. “ kemudian Beliau
membaca ayat ini. [HR.Muslim].
b.
Ketika turun
ayat, yang artinya : “
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukan iman mereka dengan
kedzaliman …” [QS. Al-An’am : 82]
Menurut Abdullah bin
Mas’ud, para Sahabat merasa keberatan karenanya. Kemudian mereka pun bertanya
, “ Siapa di antara kami yang
tidak mendzalimi dirinya ya Rasul ?” Beliau menjawab, “ Bukan itu maksudnya.
Tetapi yang dimaksud kedzaliman di ayat itu adalah Syirik. Tidakkah kalian
mendengar ucapan Luqman kepada putranya yang artinya : “ Wahai anakku,
janganlah engkau menyekutukan Allah. Karena perbuatan Syirik (menyekutukan
Allah) itu sungguh kedzaliman yang sangatlah besar.” [HR. Muslim].
Dari ayat dan hadits itu dapat di ambil kesimpulan
: Kedzaliman itu urutannya bertingkat-tingkat. Perbuatan maksiat itu tidak
disebut Syirik. Orang yang tidak menyekutukan Allah, mendapat keamanan dan
petunjuk.
3.
MEMAHAMI
AYAT DENGAN PEMAHAMAN SAHABAT
Merujuk kepada
penafsiran Sahabat terhadap ayat-ayat Al Qur’an seperti Ibnu ‘Abbas dan Ibnu
Mas’ud sangatlah penting sekali untuk mengetahui maksud suatu ayat. Karena,
disamping senantiasa menyertai Rasulullah, mereka juga belajar langsung dari
Beliau. Berikut ini contoh Tafsir dengan ucapan Sahabat, tentang ayat yang
artinya : “
Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy.” [QS. Thaha : 5].
Al Hafidz Ibnu Hajar
di dalam kitab Fathul Baari berkata, Menurut Ibnu ‘Abbas dan para Ahli Tafsir
lain,Istiwa itu
maknanya Irtafa’a
(naik atau meninggi).
4.
HARUS
MENGETAHUI GRAMATIKA BAHASA ARAB
Tidak di ragukan lagi, untuk bisa memahami dan
menafsirkan ayat-ayat Alquran , mengetahui gramatika bahasa arab sangatlah
penting. Karena Alquran diturunkan dalam bahasa Arab.
Firman Allah yang
artinya : “ Sungguh kami turunkan
Alquran dengan bahasa Arab supaya kamu memahami.” [QS. Yusuf : 2].
Tanpa mengetahui
bahasa arab, tidak mungkin bisa memahami makna ayat-ayat Al qur’an. Sebagai
contoh ayat : Tsummas
tawaa ilas samaa’i. makna Istiwa ini banyak di perselisihkan.
Kaum Mu’tazilah mengartikannya menguasai dengan paksa. Ini jelas penafsiran
yang sangat keliru. Tidak sesuai dengan bahasa arab. Yang benar, menurut
pendapat para Ahli Sunnah Wal Jama’ah, Istiwaa
artinya ‘ala wa Irtafa’a (meninggi dan naik). Karena Allah
mensifati dirinya dengan Al-‘Ali
(Maha Tinggi).
Anehnya banyak orang
penganut faham Mu’tazilah yang menafsiri lafadz Istawa dengan Istaula.Pemaknaan seperti ini banyak tersebar di
dalam kitab-kitab Tafsir, Tauhid dan ucapan-ucapan orang. Mereka jelas
mengingkari ke-Maha Tinggian Allah yang jelas-jelas tercantum dalam ayat-ayat
Al Qur’an dan Hadits-hadits yang shahih, perkataan para sahabat dan para
Tabi’in, mereka mengingkari bahasa Arab di mana Alquran diturunkan dengan
bahasa itu. Al
Imam Ibnu Al Qayyim berkata, Allah memerintahkan orang-orang Yahudi supaya
mengucapkan “Hitthotun” (bebaskan kami dari dosa), tapi mereka rubah menjadi
“Hinthotun” (biji gandum). Ini sama dengan kaum Mu’tazilah yang mengartikan
Istiwa dengan arti Istaula.
Contoh kedua,
pentingnya bahasa arab dalam menafsirkan suatu ayat, misalkan ayat yang artinya
: “ Maka ketahuilah, bahwa tidak
ada Ilah ( yang Haq ) melainkan Allah…” [QS. Muhammad : 19].
Ilah artinya Al Ma’bud ( yang
di sembah) maka kalimat Laa ilaaha Illallaah,
artinya La
Ma’buuda illallaah (tidak ada yang patut di sembah kecuali Allah). Sesuatu
yang di sembah selain Allah itu banyak ; Orang-orang Hindu di India menyembah
sapi. Pemeluk Nashrani menyembah ‘Isa Al Masih, tidak sedikit dari kaum muslimin
sangat di sesalkan karena menyembah para wali dan berdo’a meminta sesuatu
kepadanya. Padahal, dengan tegas Rasulullah berkata, Artinya :” Do’a itu ibadah.”
[HR.Tirmidzi].
Karena sesuatu yang
dijadikan sesembahan oleh manusia banyak macamnya, maka dalam menafsirkan ayat
diatas harus ditambah dengan kata Haq sehinggan maknanya menjadi Laa Ma’buuda Haqqon
Illallaah ( tidak ada sesembahan yang Haq kecuali Allah). Dengan
begitu, semua sesembahan-sesembahan yang bathil yakni selain Allah, keluar atau
tidak masuk dalam kalimat tersebut. Dalilnya ialah ayat berikut, yang artinya
: “ Demikianlah, karena
sesungguhnya Allah. Dialah yang Haq. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru
selain Allah itulah yang bathil.” [QS. Luqman : 30].
Dengan di artikannya
makna Ilah menjadi Al Ma’buud, maka jelaslah kekeliruan kebanyakan kaum
muslimin yang berkeyakinan bahwa Allah ada di mana-mana dan mengingkari
ketinggian Nya di atas ‘Arsy dengan memakai dalil ayat berikut ini, yang
artinya : “ Dan Dialah Tuhan di
langit dan Tuhan di Bumi.” [QS. Az-Zukhruf : 84].
Sekiranya mereka
mamahami arti Ilah dengan benar, niscaya mereka tidak memakai dalil ayat
tersebut. Yang benar, seperti yang telah di terangkan di atas, Al Ilah itu
artinya Al Ma’buud sehingga ayat itu artinya menjadi : “ Dan Dialah Tuhan (yang
disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di Bumi.”
Contoh ke tiga,
pentingnya Gramatika bahasa arab untuk supaya bisa menafsirkan ayat dengan
benar, ialah mengetahui ungkapan kata akhir tapi didahulukan, dan kata depan
namun ditaruh di akhir kalimat. Sebagai contoh, Firman Allah : “ Iyyaaka na’budu wa Iyyaaka
nasta’in.” Artinya : “Hanya
kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu pula kami memohon pertolongan.” [QS
Al Fatihah : 5].
Di dahulukan kata
Iyyaaka atas kata kerja Na’budu dan Nasta’in, ialah untuk pembatas dan
pengkhususan, maka maksudnya menjadi Laa
Na’budu illa iyyaaka walaa nasta’iinu illa bika yaa Allah, wanakhusshuka bil ‘ibaadah
wal ‘Isti’aanah wahdaka. ( kami tidak menyembah siapa pun kecuali hanya
kepada-Mu. Kami tidak memohon pertolongan kecuali hanya kepada-Mu, ya Allah.
Dan hanya kepada-Mu saja kami memohon beribadah serta memohon pertolongan).
5.
MEMAHAMI
NASH AL QUR’AN DENGAN ASBABUN NUZUL
Mengetahui Asbabun Nuzul (peristiwa yang melatari
turunnya ayat) sangat membantu sekali dalam memahami Alquran dengan benar.
Sebagai contoh, ayat
yang artinya : “
katakanlah : panggilah mereka yang kamu anggap sebagai (Tuhan) selain Allah,
mereka tidak akan meiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak
pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada
Tuhan mereka, siapa di antara meraka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan Rahmat-Nya, serta takut akan Adzb-Nya. Karena adzab Tuhanmu itu
sesuatu yang mesti ditakuti.” [QS.Al-Israa’ :56-57].
Ibnu Mas’ud berkata : Segolongan manusia ada
yang menyembah segolongan Jin, lantas sekelompok Jin utu masuk Islam. Karena
yang lain tetap bersikukuh dengan peribadahannya, maka turunlah ayat “
Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan Mereka
[Muttafaqun’Alaihi].
Ayat itu sebagai bantahan terhadap orang-orang
yang menyeru dan bertawassul kepada para Nabi atau para Wali. Namun, sekiranya
orang-orang itu bertawassul kepada keimanan dan kecintaan mereka kepada para
Nabi atau Wali, maka Tawassul semacam ini di bolehkan.
Wallahu’alam bis Showab
Maraji’
: Kaifa Nafhamul Qur’an, oleh : Muhammad ibnu Jamil Zainu
Sumber : BelajarIslam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar